Selasa, 02 Juni 2009

Menggapai Mimpi

Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB dan aku masih terpaku di depan meja belajarku yang kayunya telah usang dan lapuk. Khusus malam ini sengaja aku tidur agak larut, besok adalah hari terakhirku menempuh ujian akhir semester. Aku tidak boleh bermanja-manja “ Gab Niemals auf! 1”. Sebuah kalimat yang aku tulis dalam ukuran besar di karton putih dan ku pasang di depan meja bejarku agar aku lebih bersemangat dalam belajar. Aku tidak boleh menyerah! Mempelajari bahasa Jerman bukanlah suatu hal yang mudah, aku harus hafal artikel seluruh kata benda dalam bahasa Jerman, “der die atau-pun das 2” dan se-abreg grammatik bahasa Jerman yang seakan-akan memutar otakku. “ Ich versuchte immer 3” aku selalu berusaha.

Kuputar-putar gelombang radio kecilku yang selalu duduk manis di sudut meja belajarku, dan kucari lagu yang pas untuk menemani belajarku. Sebuah lagu sendu yang dinyayikan oleh Audy rupanya mampu melenakan telingaku. Merdu sekali suaranya. Dengan ditemani radio kecilku, kulahap semua soal yang ada di “Arbeitsbuch 4“ buku latihan bahasa Jerman yang sudah menjadi teman belajarku.

Kriiiiiiiiiiiiiingggg, suara berisik itu rupanya datang dari jam wekerku. Pukul 04.30 WIB, dengan cepat kumatikan jam weker itu. Terlalu semangat belajar sampai-sampai aku tertidur di meja belajar. “Kasihan tempat tidurku, semalaman dia tidur sendirian”.

Kuputar kran kamar mandi, airnya sungguh dingin tapi sangat menyejukkan. Segera ku ambil wudhu dan menghadap Allah SWT, kekasihku tercinta. Kupinta padanya segala kemudahan agar dapat menyelesaikan ujian akhir semester dengan baik.

Aku tidak bisa berlama-lama di kamar mandi, maklum banyak yang antri. Semburat sinar matahari sudah tak sabar memamerkan keindahannya “Subahanallah“ tak seorangpun mampu menandingi kebesaran Mu ya Allah.

Segera kunyalakan kompor minyak di dapur kos-kosanku, ku rebus mie instan yang sudah menjadi kebiasaan yang wajib tiap tanggal tua. Bapak belum juga mengirim uang bulanan buatku. Tak apalah, aku memang harus bersabar, karena orang yang sabar selalu disayang Allah.

Ich habe eine Prüfung fertig gemacht 5“. Kurasakan kelegaan yang begitu dalam. Akhirnya semua berakhir dengan baik. Kubimbing langkahku, agar ku tetap di tepian gedung perpustakaan pusat, yang sudah tampak dari kejahuan. Aku memang harus kesana, orang seperti aku mana mungkin bisa membeli buku perkuliahan, untuk makan saja pas-pasan. Aku ini anak seorang buruh di Lampung keturunan Jawa, yang datang ke Jogjakarta untuk menggampai mimpi ingin menjadi seorang yang sukses, ku kembalikan dua buku yang ku pinjam dua minggu yang lalu. Suasana perpustakaan yang hiruk pikuk membuatku gerah, segera ku ambil tas yang aku titipkan diruang penitipan, rasanya aku ingin keluar dari gedung ini.

Matahari di luar terasa amat panas, sinarnya menyengat kulitku yang hitam. Entah kenapa kulit ini tak pernah menjadi putih atau mungkin sedikit coklat. Mungkin hal itu disebakan karena kulitku mengandung banyak zat “ Pigmen“. Tak apalah ini bukan suatu kesalahan, biar hitam yang penting kan manis, baik hati, dan tidak sombong.

Kutelusuri jalan kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Kampus terindah dan ternyaman yang pernah ku dapati,walaupun sedikit kotor disalah satu sudutnya. Mungkin agak susah bagi pak Bon untuk merawat kampus seluas ini.

Pikiranku melayang layang seiring dengan langkahku yang tak tahu arah. Terbayang wajah Bapak, Ibu, kakak-kakakku serta adiku di Lampung. Tempat nun jauh di sebelah barat pulau Jawa, bahkan terlalu jauh untuk dijangkau olehku saat ini. Teringat terakhir aku pulang ke rumah kira-kira tiga bulan yang lalu. Keadaannya begitu memperihatinkan, sungguh sangat memperihatinkan. Bapakku telah menjual sawah, satu-satunya harta kami demi membiayai kuliah ku. Ibupun membuka jahitan, pekerjaan yang sudah lama ditinggalkan. Mereka bekerja keras membanting tulang demi tetap berlangsungnya hidup, hidup yang tak selamanya indah, demi kami anak-anaknya. “ Ya Allah kenapa kesengsaraan selalu melilit kehidupan kami“.

Tak terasa air mataku menetes mengingat penderitaan yang kurasakan, “kapan ini kan berakhir“ pikirku. Selalu terbayang wajah Bapak, ketika kami berdua bersama-sama menjual mainan anak-anak, berjalan menyelusuri dan berharap ada yang membeli serta tertarik membeli mainan-mainan itu. Kulihat wajah Bapak penuh keriput, tulang pipinya menonjol, nafasnya pun tersengal-sengal. Bapak pasti merasa capek dan cemas karena dagangannya tidak laku. Cobaan ini begitu berat, tapi aku selalu yakin bahwa Allah menyimpan rahasia dibalik kesengsaraan ini. Allah tidak mungkin memberi cobaan yang tidak bisa diatasi oleh makhluknya, karena Allah sayang kepada hamba-hambanya. “ Bapak, Ibu percayalah padaku suatu hari nanti, aku akan membanggakan kalian berdua. Do’a-kan anakmu ini.

Dorrrrrr!!!! Suara keras itu mengagetkanku. Lamunanku buyar dibuatnya. Kutengok makhluk yang membuat jantungku hampir copot. Ternyata Nela, teman kecilku di kelas ( tubuhnya kecil dan imut-imut). “ Lagi ngapain Fer?“ kok sendirian? “Bete ya“?“ Gimana tadi ujiannya?“ bisa nggak?” Nela memang seperti itu, selalu mempunyai se-gudang pertanyaan, dan sepertinya mulutnya tidak bisa diam. Baru saja mau kujawab pertanyaan-pertanyaan itu, dia sudah mengajukan pertanyaan lagi. “Sudahlah Fer, gak usah dipikirin” kalau ada masalah cerita aja ke aku “mau nggak?”. Kalau ada masalah pribadi maupun masalah kuliah aku memang sering berbagi dengan teman kecilku ini, bahkan kami mendiskusikan hal itu sampai berjam-jam.

Akhirnya kuceritakan semua masalahku dan kecemasanku, tidak bisa mengikuti semester genap ini, karena Bapakku tidak punya banyak uang untuk membayar biaya semester genap. Kalaupun bisa mungkin hanya setengahnya. Bagaimana yang setengahnya lagi?hal tersebut membuatku putus asa, bagaimana Bapakku memperoleh uang sebanyak itu. Padahal uang Semesteran harus dibayar tiga minggu mendatang. Aku sudah kehilangan akal. Sepertinya Nela ibah padaku. “ Kamu jangan sedih gitu dong Fer? Kalau kamu berusaha dan berdo’a pasti Allah akan menunjukkan jalan keluarnya, hidup adalah perjuangan“ Hier ist der Anfang von einem Krieg 6 “ Kamu harus semangat, jangan pernah menjadi orang yang kalah sebelum berperang“ Nasehat Nela benar juga, aku harus semangat dalam menghadapi masalah ini, orang suksespun, pernah menderita, pernah menangis dan pernah punya masalah.. Semangat Fer! Maju terus pantang mundur!!, kedengarannya seperti perang saja, tapi ini adalah awal dari perjuanganmu. Maju….!!!!

Kukuras pikiranku layaknya menguras bak kamar mandi. Bagaimna memperoleh tambahan uang? Tentunya uang halal, yang di ridhoi oleh Allah SWT, tapi pikiranku buntu dan tak tahu harus berbuat apa. Ku ambil wudhu dan lalu aku sholat Isya, tak lupa ku meminta kepada Nya kekuatan agar aku bisa mengatasi masalah ini. Udara malam begitu dingin, sekan menusuk-nusuk semua tulang yang ada dibadanku. Perutkupun sudah mulai konsel multi musik, ada keroncong, dangdut, pop bahkan hard rock. Aku memang lapar sejak tadi siang, karena hanya mie instan yang menjadi sarapanku. Sengaja kutahan rasa lapar ini sampai malam karena jatah makanku dua kali dalam sehari. Selain makan, aku harus membayar uang kos, listrik belum lagi iuran sampah tiap bulannya.

Kulangkahkan kakiku menuju warung pak Parman. Sebuah warung yang terletak tak jauh dari kos ku. Warung itu terlihat lenggang dari pengunjung, hal yang bisa karena sekarang sudah pukul 21.00 wib. Biasanya anak-anak kos di tempatku mencari makanan jam lima sore atau setelah sholat magrib.

“Nasi sayur pak” pesanku pada pak Parman. “Minumnya apa Fer?” “Biasa Pak, air putih”. Aku memang selalu minum air putih, setiap makan di warung pak Parman. Selain sehat aku juga dapat menghemat uang. Kulahap habis makannan ku nasi sayur dan sepotong tempe goreng lezat sekali. Konser multi musik di dalam perutku segera menutup acaranya. “Alhamdulillah kenyang rasanya” Selesai Fer ujianmu” pak Parman bertanya kepadaku. Kami memang sudah lama saling kenal. “Sudah pak!” jawabku dengan semangat. “Bagus” jawab pak Parman. “ Tidak pulang kau ke Lampung?” Tidak pak, saya tidak punya uang” dengan polosnya ku jawab pertanyaan tersebut. Sesaat kamipun terdiam. Kulihat pak Parman sibuk sekali, dia mengelap meja, mencuci piring, belum lagi melayani pembeli.

“Mau tidak, bekerja di sini membantu bapak, mengisi liburan dengan mencari uang saku tambahan”. Ucapnya memacah keheningan. Aku serasa tidak percaya, apa yang baru saja aku dengar. Pucuk dicinta ulam tiba. Begitu kata pepatah. “ Mau Pak!” jawabku penuh harap. Mata pak Parman berbinar, rupanya dia sangat senang dengan keputusanku ini. “ Kau tidak malu jika kau kusuruh mencuci piring dan gelas, mengelap meja serta menggoreng tempe?“ „ Tidak Pak“ jawab ku.“ Allah tahu pekerjaan mana yan mulia dan pekerjaan mana yang tidak mulia“ Pak Parman menepuk-nepuk bahuku. “ Kau memang anak baik“ Katanya.

Hari-hari di warung pak Parman sungguh sangat menyenangkan, ini merupakan pengalaman yang tidak pernah aku lupakan. Bahkan pak Parman memberi aku jatah makan tiga kali dalam sehari, dengan demikian aku dapat menyimpan uang makanku yang dikirim orang tuaku tiap bulan, serta aku disini dapat menikmati uang hasil keringatku sendiri. Nela pun kadang-kadang berkunjung untuk sekedar makan tempe goreng, atau sekedar melihatku menggoreng tempe. Dia pun kerapkali mentertawakanku, biarlah mungkin cara menggorengku agak sedikit terlihat kaku, sehingga Nela menganggap hal tersebut menjadi daya tarik yang lucu.

Pak Parman sangat baik padaku, bahkan ia sudah menganggapku seperti anak sendiri. Upah yang diberikannya padaku lebih dari cukup. Dengan begitu aku bisa membayar kekurangan uang semester. Uang semester yang dikirim Bapakku, ditambah dengan uang hasil tabunganku selama satu semester, serta uang makan bulan ini yang tidak aku pakai, dan upah kerja di warung pak Parman. Alhamdulillah ya Allah, tak henti-hentinya aku mengucapkan syukur padamu.

Indah sekali hari ini, kunikmati semester baru, bertemu dengan teman-teman, dan para dosen. “Bapak ku berhasil“, ucapku dalam hati. Kurebahkan senyumanu selalu, bukan karena apa-apa, AKU HANYA BAHAGIA. Bahagia dengan Indeks Pestasiku yang semakin meningkat, bahagia karena aku dapat menyelesaikan segala permasalahanku. Hanya satu kalimat pendek yang dapat aku ucapkan. “ Terima kasih ya Allah “ Hidup itu indah.

Keterangan,

1. Jangan penah menyerah

2. Artikel dalam bahasa Jerman

3. Aku selalu mencoba

4. Buku latihan

5. Saya telah menyelesaikan ujian saya

6. Disini adalah awal dari perjuangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar